Modern School Masuk Desa


Menarik ketika membaca tulisan bapak Aprian D Rahmat yang berjudul “Desaku yang (Tidak) Kucintai”. Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik UIR itu menyebut tingginya kesenjangan antara penduduk kota dan desa. Kesenjangan itu tidak hanya pada satu lini, namun telah merambah ke semua lini.

Pembangunan yang tidak merata menjadi pemicu atas jurang pemisah yang terus menganga. Pendidikan yang lebih berpihak di kota menjadikan desa terus ketinggalan dan tak berdaya membendung arus globalisasi yang semakin membabi-buta. Alhasil, kemiskinan terus menggerogoti masyarakat yang ramai ketika musim lebaran itu tiba.

Parahnya lagi, dari 32 juta penduduk miskin di Indonesia yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2011, 21 juta jiwa adalah penduduk desa. Artinya, 2/3 penduduk miskin Indonesia adalah mereka yang hidup di bawah kepengurusan Kepala Desa, (Riau Pos, 7 Juni 2012).

Sungguh sangat memilukan tatkala kita melihat data di atas. Negara yang seharusnya berkewajiban mensejahterakan rakyat, telah lalai dalam tugasnya. Pemerintah yang mestinya menjamin pendidikan anak bangsa, hanya mampu mengratiskan uang SPP tanpa uang buku yang tak murah harganya. Pemangku jabatan di Nusantara yang dituntut mengedepankan pemerataan pembangun, hanya bisa mempercepat pembangunan tempat pendukung mayoritasnya ketika pilkada.

Modern school masuk desa agaknya menjadi terobosan yang menjanjikan dalam menyelesaikan permasalahan di atas. Ketinggalan desa sepertinya mampu digesa dengan menjadikan pendidikan di desa setara bahkan lebih dari pendidikan yang ada di kota. Pembangunan desa yang selalu mendapat antrian terakhir agaknya mampu diminimalisir dengan membangun Sumber Daya Manusia (SDM) desa itu sendiri.

Sebelum kita melangkah lebih jauh, ada baiknya kita sepakati terlebih dahulu makna modern itu sendiri. Modern berasal dari bahasa latin “modernus” (modo: baru saja) atau model baru. Sedangkan dalam Kamus Bahasa Indonesia, modern berarti: terbaru, mutakhir, maju, sikap dan cara berfikir serta bertindak sesuai dengan tuntunan zaman.

Secara terminologi modern adalah proses perubahan sikap dan mentalitas dari nilai-nilai tradisional menuju masyarakat modern sesuai dengan tuntunan hidup di masa kini. Borgotta mendefinisikan modern dengan processes of transformation from tradisional or underdeveloped societies to modern societes, (Borgatta, 1984: 1299).

Sedangkan sekolah, secara historis telah mengalami beberapa kali perubahan makna. Pada awalnya sekolah berarti waktu luang atau waktu senggang sesuai dengan asal kata sekolah sendiri yang terambil dari bahasa latin skhole, scola, scolae yang berarti waktu luang.Ketika itu, sekolah adalah kegiatan di waktu luang bagi anak-anak di tengah kegiatan utama mereka yaitu bermain dan menghabiskan waktu untuk menikmati masa anak-anak. Kegiatan luang itu meliputi cara berhitung, membaca, mengenal moral dan estetika.

Seiring berjalannya waktu, sekolah kemudian didefinisikan menjadi bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar saja, atau tempat pentransferan ilmu dari seorang pendidik kepada peserta didik saja.  Dengan kata lain, sekolah lebih dimaknai dengan sarana bertemunya pendidik dan peserta didik dalam proses belajar mengajar saja.

Akhir-akhir ini sekolah mengalami perluasan makna. Sekolah tidak lagi diartikan dengan bangunan yang dimiliki semata, namun telah mencakup seluruh aspek. Mulai dari guru, murid, kurikulum, bangunan dan lain sebagainya, yang kesemua itu menjadi elemen atas keberlangsungan sekolah.

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa modern school adalah sekolah yang memiliki seluruh elemen yang mendukung atas keberlangsungan sekolah telah sesuai dengan tuntutan zaman dan norma-norma pendidikan. Kurikulum yang digunakan sudah kurikulum yang cocok dengan perkembangan zaman. Pendidik yang diberikan amanah untuk merealisasikan janji kemerdekaan pada UUD 1945 adalah mereka yang ahli dan punya prestasi, bukan karena menjadi tim sukses ketika pilkada sehingga ada imbalan balas budi.

Proses pembelajaran tidak lagi terpusat pada guru semata, namun peserta didik yang harus lebih aktif. Pendidik tidak hanya menggunakan metode ceramah dari mulai masuk kelas hingga kelas berakhir, namun disesuaikan dengan materi yang akan dipelajari. Peserta didik tidak lagi ditekankan untuk menghapal pelajaran namun mereka harus mampu mengaplikasikan apa yang telah mereka pelajari.

Sekolah-sekolah yang menerapkan aturan seperti di atas selayaknya juga ada di desa. Sekolah yang memiliki kompetensi kuat semestinya tidak hanya ditemukan di kota. Sekolah berkualitas di daerah pelosok negeri harus menjadi tujuan utama pemerintah khususnya dan kita bersama pada umumnya.

Kenapa Harus Modern School Masuk Desa?

Pada dasarnya banyak alasan kenapa sekolah modern atau sekolah yang berkualitas itu mesti diadakan juga di desa. Setidaknya ada 3 alasan kenapa harus memilih modern school masuk desa.

Pertama, tingginya kesenjangan pendidikan antara kota dan desa. Tidak bisa kita pungkiri kesenjangan pendidikan antara masyarakat kota dan desa semakin menganga. Di kota, para Kepala Sekolah beserta komitenya berlomba-lomba untuk memperindah sekolah. Mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan sertifikasi, mereka berlomba-lomba mempromosikan diri dengan segudang prestasi yang pernah diraih.

Sayangnya, keadaan itu berbanding terbalik dengan keadan masyarakat di desa. Kepala Sekolah di desa hanya bisa pasrah menanti pembangunan yang tak kunjung tiba. Jangankan untuk meraih prestasi, ikut lombapun terkadang terkendala biaya transportasi dan akomodasi.

Di kota, gedung sekolah selalu bertingkat, warna cat sekolah selalu mengkilat, dan acara-acara besar sering dihelat. Sedangkan di desa, gedung sekolah yang sudah buruk, tiang-tiang sekolah yang sudah lapuk, maka kita tak perlu heran jika mendengar banyak sekolah di desa yang sering ambruk.

Kedua, tingginya kesenjangan pembangunan antara kota dan desa. Pembangunan yang selalu terpusat di kota terus melahirkan anak-anak perantauan, mereka yang memiliki prestasi sering meninggalkan kampung sendiri demi mengembangkan prestasi atau demi mencari sesuap nasi. Lapangan pekerjaan yang tidak cocok di desa membuat seseorang memilih jadi kaum urbanisasi walau di dalam hati selalu merintih karena harus meninggalkan kampung sendiri.

Modern school masuk desa agaknya mampu menghapus kesenjangan yang ada. Sebab, dengan didirikannya di desa sekolah yang setara dengan kualitas sekolah di kota, maka kaum urbanisasi yang tadinya berbondong-bondong pindah ke kota akan kembali ke desa dan berkumpul dengan sanak saudara. Dengan banyaknya masyarakat yang berdomisili di daerah maka akan lahir status ekonomi yang membaik. Jika ekonomi masyarakat telah menanjak, maka hasil pembangunan di desa akan segera dipetik. Akhirnya, kesenjangan pembangunan akan segera berlalu.

Ketiga, dampak negatif arus globalisasi di desa lebih minim dibandingkan dengan di kota. Lingkungan masyarakat yang saat ini sarat dengan kontaminasi globalisasi informasi dan teknologi tentu akan memperoleh dampak positif dan negatif. Kedua konsekwensi itu tidak dapat kita hindari, ia ibarat sebilah pisau yang terus mengintai. Namun, kita bisa memilih antara memegang ujung yang tajam atau pangkal yang tumpul.

Desa diyakini mampu menyaring dampak-dampak yang akan ditimbulkan arus globalisasi itu. Sebab, di desa rasa persaudaraan masih kental dipelihara, sikap saling mengingatkan masih terus menjadi tradisi, norma-norma kesusilaaan masih terus dipertahankan. Ketika sekolah dihadirkan di desa, maka dampak negatif globalisasi oleh lingkungan sekitar itu akan mampu diminimalisir.

Inilah yang menjadi alasan Yayasan Alkaromah Aidarusy Jakarta merintis pembangunan Pondok Pesantren Alkaromah Aidarusy Sibiruang, Kecamatan Koto Kampar Hulu, Kabaupaten Kampar- Riau pada 08 April 2011 yang lalu.

Pondok Pesantren dibawah asuhan K.H Ujang Umar S.Ag ini diharapkan mampu menggesa ketertiggalan desa yang semakin hari semakin nyata keberadaannya. Sekolah yang dimotori oleh Drs. H. Promadi, M.A. Ph.D (purek IV UIN Suska) dan Dr. H. Afrijon Efendi M.A (Dosen FITK UIN Suska) ini diharapkan mampu mendidik dan memperdayakan SDM masyarakat desa sehingga tak terlihat lagi kesenjangan antara penduduk kota dan desa yang kian hari kian menyilaukan mata.

Pada akhirnya, marilah kita sama-sama berdoa semoga niat baik ini diijabah Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya, doa restu dari pemerintah dan masyarakat sekitar tentu menjadi harapan kita bersama atas keberlangsungan cita-cita mulia tersebut.

Penulis adalah:  Ade Saputra Piliang (Humas Yayasan Alkaromah Aidarusy, Jakarta).

Tinggalkan komentar